Bismillah...liridloillah...
Ketika mengisi pelajaran bahasa Arab -- atau lebih tepatnya bekal awal untuk belajar membaca tulisan Arab Gundul-- kepada rekan-rekan di Tuban, ada sebuah komentar yang bagus : " Kalau tulisan Arab itu gundulan, sehingga kalo salah baca saja salah artinya...maka bagaimana dengan Al Qur'an & Hadits yang zaman dulu ditulis tanpa harakat bahkan tanpa titik, sehingga tidak bisa membedakan mana ba' mana ta' mana tsa', tidak bisa membedakan "Habbatus Sauda' ( Jinten Hitam ) dengan "Hayyatus Sauda' ( Ular Hitam ). Jangan-jangan yang kita baca selama ini tidak sama dengan aselinya dari Nabi Muhammad?".
Maka saya jawab bahwa memang pada zaman Nabi dan Khulafa' Rasyidun, mushaf al Qur'an dan juga catatan-catatan hadits yang ada belum memakai titik-titik di atas huruf, apalagi harokat fatkhah dhommah kasroh.(( Pemberian tanda baca dalam mushaf dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu yang cukup lama, mulai dari prakarsa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan dari Bani Umayyah yang menugaskan Abul Aswad ad Duwali, hingga Khalifah al Ma'mun dari Bani Abbasiyyah masih berlangsung )).
Lalu ketika proses pemberian tanda baca itu berlangsung, bagaimana para ulama' menjaga kemurnian bacaan Qur'an maupun Hadits ?. Jawabnya adalah : Melalui proses menghafal ( tahfidz ) dan belajar langsung ( talaqqi ) di hadapan para syekh yang syekh tersebut sebelumnya juga talaqqi kepada syekh-nya, terus naik ke atas hingga ke jajaran sahabat, sahabat talaqqi di hadapan Nabi Muhammad SAAW. Istilah ilmu hadits, harus berguru pada syekh yang punya sanad ( mata rantai keilmuan ) hingga Nabi Muhammad SAAW.
Jadi meskipun saat itu tulisannya sangat berbeda dengan yang ada saat ini, namun bacaan dan artinya sama sepenuhnya. Sebab dari masa ke masa, ulama' senantiasa mencocok-kan bacaannya, pemahamannya, tulisan2-nya di hadapan syekhnya. Inilah metode talaqqi, yang merupakan wasilah Allah SWT untuk menjaga kemurnian Islam.
Maka sekarang saya faham, mengapa dalam kitab Riyadus Sholihin tulisan Imam Nawawi ( abad 6 H ) ada ungkapan " Kami meriwayatkan dalam Shohih Bukhori, Shohih Muslim, dsb... ". Padahal Shohih Bukhori itu diriwayatkan oleh Imam Bukhori ( abad 3 H ), juga Shohih Muslim diriwayatkan oleh Imam Muslim. Itu karena Imam Nawawi belajar kitab hadits itu dari syekh2nya yang bersambung hingga Imam Bukhori. Begitu pula kalau kita membaca kitab Fathul Bari Syarh Shohih Bukhori tulisan Imam Ibnu Hajar al Asqolani ( w. 9 H ), ternyata Shohih Bukhori itu memiliki banyak variant, bukan dalam kandungan haditsnya, namun dalam judul-sub judul yang menjadi topik kumpulan hadits. Ada salinan versi ash Shoghoni, versi Kasymihani, dsb. Artinya Ibnu Hajar belajar dari penyalin-penyalin tersebut, yang mereka belajar kepada guru-gurunya hingga sampai ke Imam Bukhari.
Jika sekarang kita peduli pada agama kita, dunia dan akhirat kita, mari datang kepada ulama' yang kita percaya untuk belajar ke-ilmuan dari beliau. Jangan belajar dari buku-buku sendiri apalagi terjemahan.
"Alaa Laa tanaalul 'ilma illa bi sittatin * Sa unbika 'an majmu'iha bi bayanin * Dzukain wa hirshin washthibarin wa bulghotin* Wa Irsyadi ustadzin wa thuli zamanin*
"Kau tidak akan meraih ilmu --yang manfaat- kecuali dengan 6 hal * Akan kujelaskan dengan jelas padamu* Kesungguhan berfikir, kesabaran, keingin tahuan, perbekalan, BIMBINGAN GURU, dan masa yang lama!*
( Syair Imam Syafi'i rahimahullah sebagaimana diajarkan dalam pelajaran akhlaq dasar ).
Wallahu a'lamu.
Catatan harian dari seseorang yang berharap bisa belajar, berkarya, dan berbagi kepada sesama
Saturday, August 25, 2012
CATATAN ORANG AWWAM SEPUTAR PERBEDAAN AWAL-AKHIR RAMADHAN
Mengikuti jalannya sidang itsbat penentuan 1 Syawal 1432 H pada tanggal 29 Agustus petang hari, saya jadi tergelitik untuk membuat sebuah catatan kecil tentang subyek di atas. Karena baru senggang sekarang, maka baru saya share saat ini. Jadi silakan dibaca jika senggang juga :) . Semoga catatan kecil ini menjadi urun rembuk untuk menjawab pertanyaan mengapa kok sering kali terjadi "perbedaan penanggalan " dalam sistem kalender qomariyah. Kepada rekan-rekan yang mahir dalam bidang ini, masukan dan koreksinya kami tunggu-tunggu.
Wallahu a'lamu bish showab.
- Berbeda dengan kalender syamsiyah yang mengikuti revolusi bumi terhadap matahari yang sudah mematok jumlah hari per bulan sebanyak 30 atau 31 secara bergantian, kecuali Februari yang 28 hari serta 29 hari jika jatuh pada tahun kabisat ( yang habis di bagi empat atau 400 namun tidak yang dibagi 100, sebagai kompensasi revolusi bumi yang 365.25 hari per periode ). Maka kalender qomariyah yang mengikuti revolusi bulan terhadap bumi mendefinisikan, tanggal 1 adalah peristiwa keluarnya bulan dari garis konjungsi ( ijtima' ) antara matahari, bulan, bumi. Namun dalam menentukan apa patokan keluarnya bulan baru ( hilal ) dari garis konjungsi inilah para ahli memiliki kriteria yang berbeda-beda.
- Dahulu, sebelum ilmu hisab berkembang sangat akurat seperti saat ini, orang menentukan tanggal 1 dengan metode ru'yatul hilal saja, yaitu melihat bulan sabit yang baru saja keluar dari garis ijtima'. Bahkan Rasulullah SAAW ketika menemui seseorang yang mengaku melihat hilal, beliau hanya menegaskan apakah dia muslim, dan bersedia di sumpah. Jika ia, maka diterima persaksiannya. Namun begitu ilmu hisab mulai berkembang lebih akurat, sementara persaksian orang sering kali sulit diterima karena berbagai faktor ( kurang pengalaman ru'yah, kurang kejujuran hati, de-el-es-be ), maka sebagai bentuk ihtiyath ( hati-hati ) maka ulama' belakangan seperti Imam Taqiyuddin Subki ( w. abad 8 H ), Imam Ibnu Hajar al Haitami ( w. abad 10 H ) mulai mensyaratkan untuk menguji persaksian ru'yatul hilal seseorang dengan hasil hisab. Jika persaksian ru'yah-nya bertentangan dengan hasil hitungan mayoritas ahli hisab, maka beliau menegaskan bahwa pemerintah harus menolak persaksian tersebut.
- Berangkat dari item 2 di atas, maka ulama' terbagi setidaknya menjadi 2 arus besar : Kelompok pertama, tetap mengharuskan aktivitas ru'yah untuk penanggalan2 yang terkait dengan ibadah ( Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah ), namun tetap menggunakan hisab sebagai alat bantu untuk menentukan ke arah mana mata harus diarahkan untuk mengintai hilal, kira-kira jam berapa hilal bisa di-ru'yah, berapa lama kira-kira durasi penampakan hilal, dsb. Kelompok kedua mencukupkan diri pada hisab tanpa ru'yah saja. Argumentasi kelompok pertama adalah masyhurnya hadits2 shahih yang menyebutkan "shuumuu liru'yatihi wafthuruu liru'yatihi", yaitu mengawali puasa ataupun mengakhiri puasa harus dengan ru'yah, sehingga ru'yah merupakan bagian dari ibadah, sedang hisab sebagai alat bantu dan cross check terhadap persaksian ru'yah seseorang. Argumentasi kelompok kedua adalah penggalan terusan hadits yang dinarasikan oleh Ibnu 'Umar, "Fa in Ghumma 'alaikum Faqduruu lahu", jika awan menghalangi ru'yah, maka "perkirakanlah". Teks "faqduruu lahu ( perkirakanlah hilal ) ditafsiri sebagai "hisab" -- meskipun teks perintah "faqduruu lahu" tersebut muncul jika ru'yah tidak berhasil-- .
- Kelompok pertama, diwakili oleh Nahdlatul 'Ulama'. Oleh sebab itu, dalam kalender hasil hisab Tim Lajnah Falakiyyah NU selalu diberi keterangan " Ramadhan / Syawwal jatuh pada tanggal XXX, namun tetap menunggu hasil ru'yah dan keputusan pemerintah". Kelompok kedua diantaranya Muhammadiyah dan Persis. Maka kelompok kedua jauh-jauh hari sudah menentukan --secara independent-- awal dan akhir puasa, tanpa menunggu keputusan pemerintah.
- Meskipun kedua kelompok tersebut memakai hisab juga, namun ternyata hasil hisab mereka bisa berbeda-beda, meski sama-sama menggunakan metode hisab modern dengan akurasi tinggi ( hisab haqiqi tahqiqi 'ashri ). Ini karena kriteria yang digunakan untuk menentukan masuknya tanggal 1 juga tidak sama. Muhammadiyah misalnya, menggunakan kriteria wujudul hilal. Artinya jika menurut kalkulasi hisab hilal sudah berada di atas ufuk / horizon / kaki langit sebelum matahari terbenam, maka dianggap sudah masuk tanggal 1, sebab dianggap sudah keluar dari garis konjungsi / ijtima'. PERSIS dulunya juga menggunakan kriteria wujudul hilal, kemudian merevisi kriterianya menjadi imkanur ru'yat ( mungkin untuk mellihat hilal ) sebagaimana disepakati bersama oleh Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura ( MABIMS ). Kriteria ini lebih rumit, yaitu tanggal 1 menurut hisab jika hilal sudah mungkin untuk dilihat ( imkanur ru'yat ), yaitu sudah 2 derajat di atas ufuk saat matahari tenggelam, serta umur hilal sudah lebih dari 8 jam pasca konjungsi. Menurut Dr. Thomas Jamaluddin dari LAPAN, kriteria wujudul hilal lebih bersifat teoretis, sementara imkanur ru'yat lebih bersifat realistis / empiris. Sementara NU menggabungkan hisab dan ru'yat, dimana NU juga telah merevisi kriteria hisab dari wujudul hilal menjadi imkanur ru'yat. Sehingga 1 Syawal 1432 H kemarin menurut kalender NU dan PERSIS jatuh pada 31 Agustus sementara menurut kalender Muhammadiyah jatuh pada 30 Agustus. Meski NU tetap menunggu pembuktian ru'yat di lapangan.
- Dari point no 5, sebenarnya untuk menyeragamkan kalender hasil hisab dalam skala nasional masih bisa dilakukan, yaitu menyeragamkan semua pihak untuk memakai kriteria yang sama dalam hisab, yaitu imkanur ru'yat. Kriteria ini menyatakan, tanggal 1 menurut hisab jika saat matahari tenggelam, ketinggian hilal diatas 2 derajat di atas horizon serta sudah berumur 8 jam pasca konjungsi. Kriteria ini menjembatani antara rukyat empiris dengan hisab kalkulatif, dan sudah disepakati MABIMS sebagai acuan hisab dalam penyusunan kalender untuk menentukan hari-hari libur . ( Namun anehnya, kalender resmi pemerintah 2011 menyatakan 1 Syawal 1432 H pada 30 Agustus meski menurut kriteria imkanur ru'yat masih belum masuk ).
- Namun pembatasan cakupan hisab dan ru'yat hilal hanya sebatas skala nasional ( mathla'ul hilal lokal ) menjadi sangat aneh jika ditinjau dari segi astronomi modern. Sebab, peristiwa ijtima' ( konjungsi matahari, bulan, bumi ) hanya terjadi satu kali saja untuk seluruh dunia, begitu pula keluarnya hilal dari garis konjungsi ini hanya terjadi sekali saja untuk seluruh dunia, meskipun tidak seluruh wilayah di dunia bisa menyaksikannya.Namun karena pemberlakuan skala nasional ini, maka perbedaan penanggalan antar negara sering kali terjadi meskipun negara2 tersebut terletak pada garis bujur yang sama, yang memiliki waktu yang sama. Hal ini karena hisab imkanur ru'yat maupun hasil ru'yat tidak hanya dipengaruhi oleh garis lintang dan garis bujur suatu negeri, namun juga dipengaruhi oleh elevasi negeri tersebut dari atas permukaan laut. Ekstrimnya, hasil hisab maupun ru'yat antara daerah Batu Malang dengan daerah Tanjung Kodok Lamongan bisa jadi berbeda meskipun keduanya berada dalam zona waktu yang sama. Jika saja Batu dan Lamongan berbeda negara, mungkin tanggal 1 nya juga beda...tentu ini sulit diterima akal sehat.
- Jika memang diinginkan untuk lebih sesuai dengan fakta astronomi modern, maka alternatif pertama adalah memberlakukan kaidah mathla' global : jika ru'yatul hilal di suatu negara telah berhasil, dan tidak bertentangan dengan hasil hisab imkanur ru'yat di lokasi ru'yat, serta di sah-kan oleh pemerintah setempat, maka seluruh dunia harus berpegangan dengan hasil ru'yat tersebut. Sebagai contoh, 1 Syawal 1432 H, menurut hisab imkanur ru'yat seluruh Indonesia tidak ada peluang melihat hilal pada 29 Agustus 2011 waktu maghrib. Ru'yat pun tidak ada yang diterima kesaksiannya. Sebab ketika ijtima' , Indonesia sudah sekitar jam 10.00 pagi dan maghrib jam 17:30 WIB, jadi umur hilal baru 7.5 jam ( < 8 jam ) dan ketinggian hilal baru sekitar 1.5 derajat di atas ufuk. Namun di daerah yang lebih barat, seperti jazairah Arab, saat ijtima' terjadi, waktu setempat baru sekitar jam 06:00 pagi , sedangkan jika maghribnya jam 18:00 saja maka umur hilal sudah 12 jam, dan ketinggiannya sudah mungkin untuk dilihat. Jadi saat negeri di Arab sukses me-ru'yah dan sejalan dengan hasil hisab, maka Indonesia masih jam 23:00 malam, jadi baik Indonesia maupun Arab akan ber-Idul Fitri pada hari yang sama keesokan harinya, 30 Agustus 2011. Saat terjadi ru'yah di Arab jam 18:00 waktu Arab, maka di Amerika masih jam 11:00 pagi tanggal 29 Agustus, sehingga Amerika akan menuntaskan puasa hingga maghrib, dan keesokan harinya 30 Agustus mereka akan Idul Fitri juga.
- Namun alternatif pertama tersebut agak sulit diterapkan pada kasus 1 Ramadhan , di mana seluruh negeri di belahan bumi timur gagal ru'yah namun negeri belahan barat sukses ru'yah. Contoh, katakanlah Kamis sore, Indonesia, India, Arab, Afrika, gagal ru'yah semua. Sehingga Jum'at pagi negeri2 tersebut belum puasa. Namun, ketika Jum'at pagi jam 09:00 WIB, ada informasi bahwa Amerika ( Kamis malam Jum'at jam 21:00 waktu Amerika ) bisa ru'yah. Maka Amerika akan puasa hari Jum'at. Nah apakah yang di Indonesia, sampai Afrika harus meng-qodho' ( bayar hutang ) puasa, sebab sudah terlanjur tidak puasa pada Jum'at pagi itu ? Jika dikatakan harus qodho' , maka bertentangan dengan hadits riwayat Muslim dari Kuraib yang menyatakan bahwa saat itu Madinah mengawali puasa hari Sabtu sebab tidak melihat hilal hari Kamis, namun Syam ( Syiria ) mengawali puasa pada hari Jum'at sebab sudah melihat hilal pada Kamis sore. Ketika ditanyakan kepada Ibnu Abbas r.a. yang ada di Madinah, apakah Ibnu Abbas akan ikut ru'yah-nya orang Syam ( sehingga harus meng-qodho' 1 hari ) maka Ibnu Abbas r.a. menjawab " Tidak, demikianlah perintah Nabi kepada kami".
- Untuk mengatasi kesulitan di point 9 maka alternatif kedua bisa mengadopsi kaedah Universal Hijri Calendar ( UHC ) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi 180° BT ~ 20° BB ( Afrika, Asia, Australia ) sedangkan Zona Barat meliputi 20° BB ~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal. Jadi masing2 zona mengikuti hasil hisab & ru'yah negeri yang ada di zonanya.
- Alternatif manapun yang akan digunakan ( item 6, 8, maupun 9 ) pada intinya tetaplah menuntut 2 hal : ketegasan pemerintah untuk menyamakan pelaksanaan puasa, idul fithri dan idul adha, serta kesadaran semua golongan untuk mematuhi alternatif yang telah ditetapkan bersama. Ramadhan, idul fithri dan idul adha adalah ibadah jama'iyah ( kolektif ) yang keputusannya mutlak di tangan ulil amri, bukan di tangan pemimpin golongan, ormas, maupun partai, supaya pelaksanaannya bisa serempak. "Ash shoum yauma tashumun, wal fithru yauma tufthirun, wal ad'ha yauma yudhohun", puasa, fithri, dan adha merupakan saat dimana kalian berpuasa, berfithri maupun ber-adha bersama-sama ( HR. Tirmidzi ). Dan setiap golongan ( ormas jika dalam scope nasional item 6 , dan negara jika scope global item 8, 9 ) hendaknya melengkapi konsep "perbedaan adalah rahmat", menjadi "perbedaan adalah rahmat, tetapi jika bisa sama mengapa harus berbeda".
- Langkah praktis saat ini ( short term ) untuk menuju alternatif 6, 8, 9 maupun 11 diantaranya adalah : (i). ormas yang menggunakan hisab tanpa ru'yat jangan terlalu dini mengumumkan kepastian pelaksanaan ramadhan, syawal, maupun dzulhijjah sebelum ada itsbat dari ulil amri. (ii). Antar ulil amri ( scope global ) mengusahakan kesepakatan kriteria tanggal 1 pada item 8 atau 9 dan harus konsisten melaksanakannya (iii). Sidang itsbat antara ulil amri dengan perwakilan ormas setempat hendaknya dilakukan tertutup, tidak disiarkan terbuka untuk menghindari perpecahan pendapat. Hasil itsbat yang mengikat baru disiarkan secara terbuka. Amrul Imam yarfa'ul Khilaf, perintah pemimpin harus menghilangkan perselisihan pendapat.
- Langkah jangka panjangnya (long term ) adalah mengupayakan kesadaran negeri-negeri Islam untuk menyatukan diri di bawah komando tunggal Imamul A'dzham ( Pemimpin Terbesar ), atau Khalifah, sehingga pelaksanaan item 12.ii dan 12.iii bisa lebih konsisten.
Wallahu a'lamu bish showab.
TAKDIR SANG GARUDA / RAJAWALI
Ketika mendengarkan kaijan Padhang Mbulan, Emha Ainun Nadjib ( Cak Nun ) , Guru Besar Ma'iyah, memberikan ilustrasi tentang mujahadah dengan menceritakan perjalanan hidup burung garuda.
Garuda bisa hidup sampai 70 tahun. Namun untuk itu, dia harus melakukan transformasi diri yang cukup menyakitkan pada usia 40 tahun. Otherwise it will die.
Pada usia 40 tahun, paruh garuda sudah sangat bengkok. Kuku-kunya rapuh. Bulu dan sayapnya tebal. Sulit terbang, sulit mencengkeram, sulit memangsa. Sulit menjalankan titah-Nya menjaga keseimbangan rantai makanan ekosistem-Nya.
Untuk itulah, takdir-Nya membawa sang garuda untuk terbang ke puncak gunung berbatu. Terasing. 'Uzlah. Disitu dia mematuk-matuk bebatuan cadas hingga patahlah paruhnya. Sakit dan berdarah-darah. Tanpa paruh, diapun berpuasa. Tirakatan.
Setelah beberapa lama, tumbuhlah paruhnya. Lalu dengan paruh barunya, dicabutlah kuku-kukunya. Sakit berdarah-darah. Tanpa kuku, meski punya paruh, dia tetap tidak bisa memangsa. Puasa.
Setelah beberapa lama, tumbuhlah kuku-kuku barunya. Dengan kuku itu, dicabutilah sayap-sayap dan bulu tebalnya. Sakit. Meski sekarang berkuku dan berparuh, tanpa sayap, dia tidak bisa kemana-mana. Puasa mulut, puasa mata.
Setelah beberapa lama terasing, puasa, kesakitan, tirakat....tumbuhlah sayap dan bulu barunya. Kuatlah paruh dan kuku barunya. Maka diapun "turun gunung", mencari mangsa ....melanjutkan titah-Nya menjaga keseimbangan rantai makanan ekosistem-Nya.
Begitulah cara-Nya mengajari makhluq-Nya untuk layak menjadi khalifah di bumi-Nya.
Wallahu a'lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)